Selasa, 25 Agustus 2015

Enggano - CERPEN



Enggano


”Enggano.” Seseorang siswi memanggilku. ”Engga” dia memanggil lagi untuk kedua kalinya. Lorong ini terlalu ramai, aku tidak bisa mencari asal suara itu. ”Kamu baik-baik saja?”

”Oh, ada apa Al?” Tanyaku, Alda mengajakku duduk pada sebuah bangku di lorong ini.

Lorong ini memang aneh, seperti tampak roh-roh halus banyak berkeliaran. Namun, bukan hanya itu, hatiku juga ikut berkeliaran.

**

Ayah duduk di ruang kerjanya, membaca setumpuk kertas, dan mempelajarinya. Dia mendapat kasus baru dan berharap bisa memenangkannya esok hari.

”Enggano.” Ibu mengajakku makan malam bersamanya. ”Ibu harap nilai-nilai kamu baik-baik saja.”

”Dan aku berharap, suatu hari nanti Ayah bisa memenangkan kasusku di pengadilan.” Kataku lirih dan ibu tidak mendengarnya sama sekali.

**

Aku mengundurkan diri dari kapten basket. Banyak yang mempertanyakan itu padaku tapi, semua ini pilihanku. Aku lelah. Aku ingin beristirahat. Dan, basket memang bukan hobby ku.

”Kita sahabat, ayolah....” Alda duduk di sampingku, memberikan air meneral padaku. Kami ada di bangku penonton tanpa sebuah pertandingan basket. ”Apa yang terjadi?”

”Basket bukan impianku, bukan mimpiku.” Jelasku. ”Aku hanya ingin membuat Ayahku marah tapi, dia ternyata tidak memperhatikan itu.” Jelasku.

”Engga,” Alda tersenyum, mengibaskan rambutnya yang hitam. ”Hidup itu harus di bawa santai, jangan terus-terus mikirin satu hal, itu akan nyakitin hati kita sendiri.” Jelasnya, dia benar, tapi aku salah, aku tidak bisa mengikuti sarannya kali ini.

Beberapa waktu lalu, Alda pernah mengatakan bahwa mereka hidup hanya untukku. Namun, kurasa tidak, mereka hidup untuk keabadian, itu saja. Bahkan mereka tidak tahu bahwa tahun lalu aku di rawat dua minggu di rumah sakit.

**

Ibu sudah tidak ada di rumah. Semenjak dia menjadi anggota dewan, dia menjadi lebih sibuk dari sebelumnya. Lucu sekali, aku merasa seperti sebuah nama dalam Kartu Keluarga. Itu saja.

”Bagaimana dengan sekolahmu?” Tanya Ayah padaku.

”Em....”

”Baik-baiklah dengan sekolahmu.” Kata Ayah, aku belum sempat menjawab pertanyaan itu dan dia langsung pergi begitu saja.

Aku ke kamarku, membereskan beberapa jarum kecil yang ada di ranjang. Aku tertawa. Aku tersenyum. Dan aku merasa ini adalah mimpi bodoh yang terdampar pada alam bawah sadarku.

Ada sebungkus serbuk putih di atas meja belajarku, bukan buku. Aku mengambilnya dan kusimpan pada saku celanaku. Orang tidak akan ada yang menyangka, satu pun orang tidak ada dan belum ada yang mengetahuinya.

**

”Engga, tugas Bahasa Mandarinnya di kumpul hari ini kan?” Tanya Alda, aku mengangguk. ”Seorang Enggano pasti tugasnya beres, Enggano kan siswa yang paling jenius di sekolah ini.” Katanya.

”Dan aku ingin melepaskan kejeniusan itu.”

”Apa yang terjadi?” Tanyanya, aku diam, tidak menjawabnya.

Kutarik tangan Alda dan kuajak dia ke tengah lapangan basket. Di tempat ini aku ingat banyak siswi yang kagum padaku, memanggil namaku, tapi aku melepaskannya.

Alda tersenyum padaku, mendamaikan hatiku tapi tetap saja, aku tahu jika dia khawatir padaku. Bagaimana pun dia sahabat terbaik yang kumiliki dan kuharap ini akan selamanya, tidak akan berubah.

”Tatapan mata kamu berubah, ayolah, aku tahu itu.” Dia memandangku lekat. ”Kita sahabat, selamanya kita sahabat.” Jelasnya, meminta sebuah jawaban dariku. ”Aku mengenali arti perubahanmu, terutama perubahan matamu.” Tambahnya tapi aku tetap saja diam.

Bagaimana kujelaskan padanya? Apakah dia akan mengerti? Tentu, dia pasti mengerti tapi ini akan membebaninya.

”Ayahku seorang pengacara dan ibuku orang yang bekerja dipemerintahan.” Jelasku, dia tetap memajang senyum manisnya. ”Dan itu alasan mereka tetap bersama. Hanya karena posisi mereka, bukan karenaku.” Jelasku, Alda tidak berani bicara, aku tahu apa yang di pikirkannya. Dia pasti berpikir lebih baik diam sampai aku yang menyelesaikan penjelasan ini.

Kukatakan, ayahku memiliki wanita lain dan ibuku sudah mencintai laki-laki lain. Namun mereka masih bersama, bukan karena aku, bukan karena seorang anak yang terlahir beberapa belas lalu tapi, ini hanya karena pekerjaan dan posisi mereka yang di atas. Itu saja, tidak lebih.

**

”Ayah,” aku menemuinya di tengah malam, di ruang kerjanya. ”Aku memiliki sebuah pertanyaan, hanya satu.” Kataku yang duduk di depannya, di sebuah kursi empuk ruangan ini.

”Baiklah, jangan membuang-buang waktu.”

”Apakah Ayah pernah menangani kasus seorang pengedar narkoba yang ingin diringankan hukumannya?” Tanyaku, Ayah memandang. ”Atau seorang pemakai yang tertangkap basah oleh polisi, misalkan?”

Ayah diam sejenak, dia sepertinya memikirkan masak-masak pertanyaanku. Kuharap dia tidak mengerti arti lain dari pertanyaan ini atau kuharap dia langsung mengerti. Entahlah, ini menyulitkan.

”Temanmu terlibat kasus itu?” Tanya Ayah, aku diam. ”Sebaiknya jauhi temanmu, itu membuat namamu terlihat buruk.” Katanya lalu melirik ke pintu keluar, dia sama saja mengusirku.

**

Alda mengajakku sarapan di kantin. Dia tahu jika aku tidak sempat makan di rumah, rumah seperti kuburan bagiku.

Dia memesankan nasi goreng untukku, dia tahu apa yang kusukai. Yah, dia sangat perhatian padaku dan dia bukan hanya sahabat tapi, dia bagian dari hidupku.

”Al, misalkan ada hal buruk terjadi, apa kamu masih sahabatku?”

”Iya dong, ada apa sih?” Tanyanya. ”Hal buruk apa?”

”Misalkan aku menginap di suatu tempat dan keluar dalam waktu yang cukup lama, apa kita masih sahabat?” Tanyaku, dia mulai berpikir. ”Dan apa kata orang-orang tentangku, tentangmu yang bersahabat denganku?”

Dia menyeruput teh hangatnya. Udara pagi ini memang dingin tapi, suasana hatiku mengalahkan dinginnya pagi.

”Apa obat itu mempengaruhimu? Kamu ingin melepas obat itu di suatu tempat?” Tanyanya, aku tersenyum, aku baru menyadari ternyata dia sudah tahu dari awal tentang semua ini. ”Ya, jika itu demi kebaikanmu, aku di sampingmu, kamu sahabatmu, dan kuharap kamu bisa merahasiakannya dari orang-orang.” Dia memandangku bahagia. ”Setidaknya orang-orang akan menganggapmu berlibur.”

”Aku tidak akan menuntut seseorang yang menuduhku menggunakan barang itu.” Kataku. ”Tidak akan, aku akan datang sendiri dan bicara.” Nasi goreng di piringku sudah setengah habis. ”Dan mungkin itu akan lama, itu akan membuat mereka tahu bahwa aku bisa sibuk sendiri, jauh dari rumah.”

”Engga, ini salah.”

**

Aku menemui beberapa pria yang berseragam lengkap, mereka biasa di sebut polisi, dan mereka menyambut kedatangannku dengan hangat.

Entahlah, ada yang melegakan hatiku ketika mereka bertanya alasanku datang dan mengakui semuanya. Aku memang tidak menjawab tapi, aku benar-benar lega, lebih menyenangkan seperti ini.

”Engga,” Alda datang menjengukku, dia datang beberapa menit setelah aku sah menjadi penghuni baru. ”Ini pilihanmu? Untuk apa?”

”Untuk melepaskan semuanya Al,” Jelasku, ”Apa kamu masih sahabatku?” Tanyaku, dia mengangguk dan tersenyum. Aku tahu hatinya sedih tapi, dia tersenyum untuk membuatku kuat.

Ayah datang beberapa menit setelah Alda. Dia menampar wajahku dan aku tersenyum, tertawa kecil, lalu Ibu juga menyusul kedatangan Ayah dan dia mengatakan menyesal memiliki putra sepertiku.

”Apakah kalian takut jika tidak ada alasan di depan publik untuk mempertahankan keluarga ini?” Tanyaku, Alda menyadari kehadirannya di antara kami, dan dia pergi perlahan dari pandangan kami. ”Aku pernah bertanya apakah Ayah akan membuat kasusku menang di pengadilan?” Tanyaku, Ayah menggelengkan kepalanya. Bodoh sekali aku, ini bukan kasus yang layak di bawa ke pengadilan untuk meminta keringanan hukuman, aku bukan Gayus Tambunan yang dengan mudah meminta keringanan hukuman.

”Apa ini balasanmu sebagai seorang anak?!” Ayah menamparku lagi dan membentakku, Ibu hanya memandang dan wajahnya terlihat stres. ”Ini yang kamu inginkan!!!”

”Ya, tentu.” Jawabku. ”Setidaknya kita bertiga bisa berkumpul pada satu waktu yang sama. Kita bertiga, bukan sendiri atau hanya aku dan ibu, atau ayah dan ibu, atau aku dan ayah.” Jelasku detail.

”Apa kamu ingin menghianati Ibu?! Membuat Ibu malu!” Ibu memandangku marah.

”Mungkin saja.” Jawabku. ”Setidaknya kalian telah menuliskan namaku dalam Kartu Keluarga, dan hanya itu, tidak lebih, aku hanya hidup di sebuah rumah tanpa sebuah interaksi, itu saja.” Aku menjelaskannya dengan santai walaupun rasanya sangat sakit, aku menahannya, berusaha kuat. ”Dan hari ini, ini cukup menenangkan hatiku.” Lalu aku meminta pria yang berseragam polisi itu memasukkanku ke dalam sel dan memintanya agar menyuruh kedua orang tua dalam Kartu Keluargaku pergi jauh.

TAMAT

Cerpen oleh Aula Nurul M


Tidak ada komentar:

Earning Per Share

a.      Definisi Earning Per Share Earning Per Share (EPS) atau pendapatan perlembar saham adalah bentuk pemberian keuntungan yang diberik...